Untuk kedua kalinya, kutemukan ular di rumahku. Kali ini kusaksikan liukan ular itu bergerak maju menyamping menuju ke arah belakang kursi. Dengan sigap saya berteriak kepada istriku persis seperti seorang komandan kepada anak buahnya: ‘Bu, masuk kamar. Sama si Ade’. Semua pintu ke luar aku tutup, agar tidak ada celah keluar. Secepat kilat kubawa sebuah tongkat bambu pemberian mertuaku, yang beliau minta disimpan di belakang pintu, agar ‘jika ada maling gampang digetok’. Kuajak pula Bang Jimi, pembantu rumah sebelah, untuk membantu menangkap ular itu.
Akhirnya kutemukan juga ular itu yang bersembunyi di belakang meja komputer dengan tali-tali menjuntai yang mungkin dia pikir itu temennya. Kucoba giring dia ke tembok, dan akhirnya kutekan badan ular itu dengan tongkat bambu sekuat tenaga, sampai menurutku mati. Lalu Bang Jimi - yang sebenarnya masih berusia dua tiga belas tahunan - dengan beraninya menangkap ular itu - yang ternyata masih hidup, dengan tangan kosongnya. Akhirnya ular yang sudah mati itu kumasukkan ke dalam kantong plastik, lalu dibuang.
Cerita di atas sepertinya sebuah perjuangan heroik. Padahal tidak, karena ular yang kutemukan sebenarnya lebih tepat disebut anak ular, dengan diameter lebih kecil dari pensil, panjang tidak lebih besar dari sejengkal. Tapi ular tetaplah ular, sekecil apapun itu, bagi saya tetap berbahaya - apalagi ada Ade bayi di rumah. Lagipula saya bukanlah Irfan Hakim, yang berani memelihara ular besar. Dengan ular sekecil itupun sudah membuat istriku trauma.
Dengan kejadian itu, saya kemudian mencari cara agar rumah kami tidak didatangi ular lagi. Apalagi setelah mendapatkan sebuah pernyataan dari seseorang kawan ‘wah, ular itu harusnya jangan dimatikan di dalam rumah, ntar mengundang ular lainnya karena penciuman ular tajam terhadap darah sesama ular, apalagi jika ular itu masih kecil, bisa-bisa didatangi induknya’. (Di hati saya membatin, oh please deh, lu nakutin keluarga gue).
Dan setelah search informasi sana sini, inilah apa yang saya pikirkan - termasuk yang diusulkan beberapa website:
Menaburkan garam meja di sekeliling jalur masuk ke rumah. Langkah seperti ini diusulkan banyak orang, termasuk juga saya pelajari sewaktu pramuka, dan juga melihat dari beberapa filem di televisi. Langkah ini sudah saya lakukan. Alhamdulillah saat itu rumah kami tidak kemasukan ular, meskipun kami harus menerima konsekuensi negatif:
- Garam yang ditaburkan di lubang jendela kemudian membuat teralis besi berkarat dengan cepat
- Garam yang ditaburkan di pintu masuk kemudian menetes ke taman sehingga membuat rumput di sekeliling rumah kering dan mati
- Keampuhan garam akan menghilang seiring habisnya garam itu sendiri, baik terkena cucuran hujan, tersapu Mak Icih pembantu rumah atau tertiup angin. Dan pada saat jeda tidak terdapat garam di jalur masuk ke rumah, si ular pun mungkin tetap akan leluasa masuk.
Langkah kedua adalah meletakkan tali ijuk di sepanjang jalur masuk yang mungkin dilalui ular. Hal ini dilakukan katanya agar ular takut masuk ke rumah, karena dia akan berhadapan dengan ijuk yang tajam. Ijuk tajam adalah musuh ular dengan kulit yang halus - ups, licin maksudnya. (Mungkin ularnya pesolek ya, “aduh bo, kulitnya jadi gak halu s lagi”). Langkah ini belum saya lakukan, selain karena saya belum menemukan tali ijuk, saya juga masih tidak rela keindahan rumah saya yang tidak seberapa ini terkotori tali ijuk di mana- mana.
Langkah ketiga yang sepertinya valid adalah menjebak ular (dan teman-temannya) dan membiarkannya mati. Langkah seperti ini saya dapatkan dari mbah Gugel, yaitu dengan cara membuat sebuah lubang tidak terlalu besar, sedalam semeter atau semeter setengah di tempat yang kira - kira menarik perhatian ular. Lebih baik lagi lubang itu dibuat dari paralon yang dilumuri oli atau gemuk sehingga ular yang masuk terperosok ke sana akan susah melarikan diri, karena jika dia kabur dia akan berkata ’sialan, gue terpeleset’. Saya kemudian praktekkan hal itu. Namun Bang Toni tukang kebun keliling membuatnya dengan diameter yang terlalu besar, bahkan mirip dengan sebuah sumur kecil, dengan kedalaman yang tanggung. Setelah sebulan, tetap saja tidak saya temukan satu ekor ular pun. Ternyata, saya terlupa jika lubang itu harusnya diisi tape ketan yang beraroma menusuk, yang bisa menggoda penciuman ular untuk datang. Apalagi jika tapenya asli Bandung (anggaplah ular itu tahu wisata kuliner)
Setelah langkah itu dilakukan dan tidak menemukan hasil yang memuaskan, karena salah penerapan, saya sekarang kemudian berpikir untuk memanggil pawang ular. Saya harapkan pawang ular itu bisa ‘meniup seruling emasnya’ dan ular-ular di sekeliling rumahku akan mengikuti kemana pawang itu pergi persis seperti cerita Tikus dan Peniup Seruling.
0 komentar:
Post a Comment